Pemerintah baru saja
menaikan harga BBM lagi. Bagaimana dampaknya bagi usaha perikanan? Mudah ditebak
bahwa usaha perikanan akan kembali tersungkur. Pasalnya, usaha perikanan,
khususnya penangkapan sangat tergantung pada BBM, mengingat komponen BBM
berkisar 40-60 % dari total biaya variabel penangkapan ikan. Tebakan ini memang
hanya berdasar common sense saja
karena memang belum ada riset komprehensif yang menghitung dampak kenaikan BBM
terhadap berbagai skala usaha perikanan. Tentu dampak terhadap skala usaha
kecil atau armada dibawah 10 Gross Ton
(GT) berbeda dengan yang diatas 100 GT sehingga solusi atau kompensasi yang
semestinya disiapkan pun berbeda.
Memang ada sebuah riset kecil yang dilakukan Fauzia (2003)[1] di Pelabuhan Ratu untuk kasus kenaikan BBM selang dekade yang lalu. Pada tahun 2003, di lokasi riset tersebut ternyata dampak paling besar dari kenaikan BBM adalah terhadap kapal ikan berukuran 5-10 GT. Dalam komponen biaya variabel, kenaikan BBM sebesar 36 % waktu itu mengurangi pendapatan nelayan dan membuat usaha tersebut tidak layak secara ekonomi. Pendapatan nelayan berkurang 48,5 % (50-10 GT), 45,9 % (11-20 GT), dan 13,1 % (21-32 GT). Berdasarkan analisis sensitivitas, nelayan 5-10 GT tidak layak secara ekonomi, tetapi nelayan di atas 10 GT masih layak melanjutkan usahanya, apalagi usaha diatas 20 GT. Artinya, pencabutan subsidi BBM memang pada akhirnya efektif untuk menggusur nelayan kecil di bawah 10 GT, padahal statistik perikanan menunjukkan bahwa sekitar 90 % armada penangkapan ikan kita dibawah 10 GT. Hal demikian juga berarti bahwa kenaikan BBM ini sangat terasa dampaknya pada hampir seluruh nelayan di Indonesia.
Hasil riset tersebut
mengindikasikan dampak negatif dari kenaikan harga BBM terhadap usaha perikanan
kecil. Kini, naiknya harga solar dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500 per liter
berpotensi memberikan dampak yang lebih buruk lagi, tidak saja bagi pemilik
kapal, tapi juga nelayan buruh mengingat pendapatan mereka dipengaruhi pola
bagi hasil.
Saat ini, pemerintah
telah merumuskan berbagai program kompensasi pengurangan subsidi BBM, seperti
peluncuran tiga “kartu sakti”––Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Sehat,
dan Kartu Indonesia Pintar––yang disebut sebagai pengalihan subsidi ke sektor
produktif. Pertanyaannya, apakah program kompensasi ini akan dapat membantu
nelayan mengatasi pergolakan harga BBM?
Dengan asumsi segala
sesuatunya lancar dan disalurkan dengan tepat sasaran, tentu model kompensasi seperti
itu bermanfaat bagi nelayan. Akan tetapi, ciri model kompensasi tersebut hanya
berbasis pendekatan konsumsi, yakni meningkatkan daya beli nelayan terhadap
kenaikan harga konsumsi barang dan jasa akibat kenaikan harga BBM. Jadi, ini
penting untuk penduduk miskin guna mempertahankan hidup (survival). Model ini penting, namun tidak cukup, karena persoalan
nelayan tidak semata bagaimana mempertahankan hidup hingga batas subsistensi,
tetapi juga bagaimana melanjutkan usaha perikanan dalam rangka
kesejahteraannya, penyediaan protein hewani bagi masyarakat luas (food security), peningkatan Pendapatan
Negara Bukan Pajak (PNBP), serta penyediaan lapangan kerja. Sehingga,
pendekatan konsumsi tersebut juga mesti disertai dengan pendekatan produksi,
yang berarti diperlukan model kompensasi atau solusi-solusi alternatif yang
mampu mendorong nelayan tetap berusaha. Bentuknya dapat bermacam-macam, tentunya
berdasarkan pengklasifikasian skala usaha kecil, menengah, dan besar. Setidaknya
ada beberapa hal yang bisa dilakukan dalam meminimalisir dampak kenaikan BBM
bagi nelayan.
Pertama, model langsung subsidi harga yang ditujukan agar usaha perikanan skala kecil tetap dapat beroperasi melalui penyediaan BBM dengan harga khusus dalam jangka waktu tertentu. Model ini akan sangat membantu nelayan, tapi membutuhkan prasyarat yang tak mudah, yakni adanya jaminan bahwa harga khusus tersebut benar-benar dialokasikan untuk kegiatan perikanan skala kecil. Adanya perbedaan harga di pasar biasanya akan mendorong peluang terjadinya penyelewengan. Marjin keuntungan dari jual beli BBM yang diselewengkan itu bisa jadi lebih besar dari keuntungan hasil melaut.
Kedua, jaminan keberlangsungan suplai BBM melalui pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di pusat-pusat kegiatan nelayan. Ini penting untuk mengatasi kelangkaan BBM serta membengkaknya harga di atas harga resmi. Jangan sampai nelayan terhambat melaut hanya karena tidak ada BBM. Bagi mereka, tidak melaut berarti tidak ada penghasilan.
Ketiga, membuka peluang nelayan untuk mendiversifikasi usaha perikanan atau menggantinya dengan mengembangkan usaha baru non-penangkapan, seperti budidaya laut atau pembuatan garam rakyat yang relatif lebih rendah ketergantungannya terhadap BBM. Usaha non-penangkapan lainnya, khususnya pengolahan dan perdagangan (bakul) skala kecil, juga dapat menjadi alternatif karena memang menguntungkan. Belajar dari pengembangan usaha perikanan di Pantai Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, usaha perikanan yang berkembang hampir selalu dapat bersinergi dengan usaha lain seperti pariwisata pantai. Bahkan banyak lokasi pendaratan ikan yang menjadi sentra-sentra pariwisata, khususnya wisata kuliner ikan yang digerakkan oleh kelompok perempuan. Hanya saja prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan transfer pengetahuan dan teknologi, perubahan mental berusaha, dan perluasan akses pasar. Lagi-lagi, kita butuh data valid tentang skala usaha yang bagaimana usaha penangkapan masih layak diteruskan atau mesti beralih ke usaha non-penangkapan lainnya pasca kenaikan BBM ini.
Upaya solusi atau kompensasi yang terkait langsung dengan BBM diatas, mestinya disiapkan sebelum harga BBM dinaikan sehingga begitu BBM naik beban yang ditanggung nelayan tidaklah terlalu besar karena tersedianya dana bantuan bagi mereka bila ingin beralih usaha ataupun mempersiapkan teknologi alternatif yang menunjang efesiensi. Bagaimanapun, peningkatan kesejahteraan nelayan menjadi salah satu barometer penting keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Wallahu a’lam.
Pertama, model langsung subsidi harga yang ditujukan agar usaha perikanan skala kecil tetap dapat beroperasi melalui penyediaan BBM dengan harga khusus dalam jangka waktu tertentu. Model ini akan sangat membantu nelayan, tapi membutuhkan prasyarat yang tak mudah, yakni adanya jaminan bahwa harga khusus tersebut benar-benar dialokasikan untuk kegiatan perikanan skala kecil. Adanya perbedaan harga di pasar biasanya akan mendorong peluang terjadinya penyelewengan. Marjin keuntungan dari jual beli BBM yang diselewengkan itu bisa jadi lebih besar dari keuntungan hasil melaut.
Kedua, jaminan keberlangsungan suplai BBM melalui pembangunan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN) di pusat-pusat kegiatan nelayan. Ini penting untuk mengatasi kelangkaan BBM serta membengkaknya harga di atas harga resmi. Jangan sampai nelayan terhambat melaut hanya karena tidak ada BBM. Bagi mereka, tidak melaut berarti tidak ada penghasilan.
Ketiga, membuka peluang nelayan untuk mendiversifikasi usaha perikanan atau menggantinya dengan mengembangkan usaha baru non-penangkapan, seperti budidaya laut atau pembuatan garam rakyat yang relatif lebih rendah ketergantungannya terhadap BBM. Usaha non-penangkapan lainnya, khususnya pengolahan dan perdagangan (bakul) skala kecil, juga dapat menjadi alternatif karena memang menguntungkan. Belajar dari pengembangan usaha perikanan di Pantai Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, usaha perikanan yang berkembang hampir selalu dapat bersinergi dengan usaha lain seperti pariwisata pantai. Bahkan banyak lokasi pendaratan ikan yang menjadi sentra-sentra pariwisata, khususnya wisata kuliner ikan yang digerakkan oleh kelompok perempuan. Hanya saja prosesnya tidak semudah membalik telapak tangan. Diperlukan transfer pengetahuan dan teknologi, perubahan mental berusaha, dan perluasan akses pasar. Lagi-lagi, kita butuh data valid tentang skala usaha yang bagaimana usaha penangkapan masih layak diteruskan atau mesti beralih ke usaha non-penangkapan lainnya pasca kenaikan BBM ini.
Upaya solusi atau kompensasi yang terkait langsung dengan BBM diatas, mestinya disiapkan sebelum harga BBM dinaikan sehingga begitu BBM naik beban yang ditanggung nelayan tidaklah terlalu besar karena tersedianya dana bantuan bagi mereka bila ingin beralih usaha ataupun mempersiapkan teknologi alternatif yang menunjang efesiensi. Bagaimanapun, peningkatan kesejahteraan nelayan menjadi salah satu barometer penting keberhasilan pemerintahan Jokowi-JK dalam menjadikan Indonesia sebagai poros maritim. Wallahu a’lam.
Sumber gambar: Harian Kontan |
Yogyakarta, 19 November 2014
Kordinator Forum Kajian Perikanan UGM Yogyakarta
[1]
Fauziah, D. 2003. Dampak
Kenaikan Harga Bahan Bakar Minyak Tehadap Pendapatan Usaha Nelayan Gill Net dan
Rawai di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Skripsi.
0 comments: