Keputusan ini tentu kian mempertegas komitmen dan langkah maju pemerintah dalam upaya transformasi tata kelola perikanan tangkap. Jika diibaratkan, modelling ini adalah "miniatur" yang membumikan gagasan kebijakan penangkapan ikan terukur untuk menghadirkan pengelolaan yang berkelanjutan dan manfaat sosial-ekonomi.
Modelling ini menjadi penting jika kita berkaca pada rumitnya dialektika kebijakan penangkapan ikan terukur yang masih diwarnai pro dan kontra. Masih kuatnya penolakan di kalangan pelaku utama perikanan tangkap, perubahan fishing behaviour yang tentu tak mudah, kesiapan infrastruktur hulu-hilir, disparitas kesiapan antar zona penangkapan ikan, dan aspek sosio kultural, tentu menjadi tantangan yang tak mudah bagi implementasi kebijakan PIT ini.
Faktanya, berbagai kondisi tersebut pada akhirnya membuat pemerintah harus melakukan relaksasi implementasi beberapa instrumen penting kebijakan penangkapan ikan terukur pada akhir tahun 2023 lalu. Dalam konteks tersebut, tentu saja, modelling ini ibarat laboratorium pengujian kebijakan, untuk menilai dan mengevaluasi implementasi kerangka kebijakan penangkapan ikan terukur.
Meskipun tak persis sama, sejatinya pengujian kebijakan melalui modelling, sudah dilakukan pada sejumlah program seperti: Budidaya Udang Berbasis Kawasan (BUBK) di Kebumen, Kawasan Tambak Budidaya Ikan Nila Salin di Karawang, dan Budidaya Rumput Laut Berbasis Kawasan di Wakatobi.
Sebagai miniatur kebijakan penangkapan ikan terukur, modelling ini tentu diharapkan membawa semangat transformasi dan perbaikan pengelolaan penangkapan ikan hulu-hilir, berdampak positif bagi perbaikan ekosistem laut, serta memberikan manfaat sosial ekonomi. Terlepas dari masih berprosesnya penggodokan sistem kuota penangkapan ikan, implementasi sejumlah instrumen pengelolaan dalam kebijakan penangkapan ikan terukur tentu harus diuji dalam modelling ini.
Dalam perspektif tersebut, saya melihat ada beberapa formulasi yang telah dikembangkan sebagai jalan keluar dari beberapa persoalan yang selama ini menjadi tantangan dalam implementasi kebijakan penangkapan ikan terukur.
Pertama, desain konektivitas hulu-hilir melalui kerja sama bisnis antara nelayan dengan pelaku usaha di sektor hilir. Kerja sama ini akan menjadi faktor krusial dan menyelesaikan sejumlah persoalan termasuk kesiapan infrastruktur pendukung implementasi penangkapan ikan terukur serta hilirisasi perikanan tangkap.
Kerja sama bisnis yang tercapai antara koperasi Nelayan Pantai Utara Jawa dengan Pelaku Usaha yang berperan sebagai offtaker akan mengubah fishing behaviour nelayan Pantura yang selama ini mendaratkan hasil tangkapannya di wilayah Jawa. Sejalan dengan kerja sama tersebut, 187 kapal ikan asal Pantura akan direlokasi ke Zona Penangkapan Ikan 3.
Intervensi kebijakan ini diharapkan menjadi booster bagi pertumbuhan ekonomi perikanan di wilayah Tual dan Kepulauan Aru.
Tentu saja, perubahan ini akan menjadi model sistem bisnis perikanan tangkap yang efektif dan efisien, menjamin kelangsungan mutu produk perikanan, mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi antar wilayah, dan menciptakan multiplier effect di wilayah Tual dan Kepulauan Aru. KKP bahkan memproyeksikan efisiensi penangkapan yang dihasilkan melalui modelling ini akan meningkatkan produksi sebesar 4.578 ton setiap bulannya dengan nilai transaksi mencapai Rp 48,4 miliar.
Peluang ekspor langsung dari Maluku juga akan menjadi terbuka lebar. Hal ini tentu akan mengurangi biaya logistik dibandingkan harus melalui Surabaya atau Jakarta.
Hal ini juga berarti waktu tempuh pengangkutan dan ekspor akan menurun, serta mengurangi traffic ekspor di Indonesia Barat. Belum lagi, jaminan yang lebih baik untuk mempertahankan mutu ikan karena pemrosesan dilakukan dalam satu lokasi dan rentang kendali waktu yang lebih pendek.
Kedua, kesiapan infrastruktur fisik dan non fisik untuk mendukung implementasi penangkapan ikan terukur. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari kesiapan infrastruktur di Pelabuhan Perikanan Nusantara Tual dan Pelabuhan Perikanan pendukung modelling yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung, seperti: logistik, industri hilir, sarana dan layanan kepelabuhanan perikanan, jaringan komunikasi, sampai dengan instalasi CCTV di pelabuhan untuk memantau pembongkaran dan penimbangan, dan sebagainya.
Kerangka pengembangan infrastruktur ini akan menjadi benchmarking bagi penerapan kebijakan penerapan penangkapan ikan terukur di masa depan dan di wilayah-wilayah lain.
Tak hanya fokus pada infrastruktur fisik. Upaya penyiapan soft infrastruktur pun disiapkan secara serius dalam modelling ini.
Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa formulasi kerjasama stakeholder pada saat peluncuran modelling ini. Beberapa aspek, menjadi perhatian serius diantaranya: peningkatan kompetensi kepelautan, penerapan Perjanjian Kerja Laut. Selain itu, program-program pemberdayaan nelayan, bantuan dan bimbingan teknis juga telah disiapkan untuk mendukung implementasi modelling ini.
Sebuah sinyalemen positif yang mengisyaratkan pesan penting akan niat pemerintah untuk memperbaiki aspek-aspek kenelayanan.
Konsep pengembangan soft infrastruktur tersebut secara eksplisit menempatkan nelayan kecil menjadi subjek dan objek penting dalam kebijakan penangkapan ikan terukur ini.
Pemberdayaan nelayan melalui berbagai intervensi yang dilakukan tentu membuka ruang dan kesempatan untuk menjadi bagian dalam perikanan skala industri. Selain itu, koperasi sebagai kelembagaan usaha nelayan juga terbuka lebar untuk berkembang.
Hal ini tentu melengkapi kepingan puzzle keberpihakan kebijakan penangkapan ikan terukur terhadap nelayan kecil. Dalam kerangka regulasi penangkapan ikan terukur, nelayan kecil juga mendapatkan keistimewaan dan prioritas dalam pengalokasian kuota penangkapan ikan, serta pembebasan dari pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Saya telah membahas hal tersebut dalam kolom sebelumnya Kemerdekaan, Perlindungan Nelayan Kecil & Penangkapan Ikan Terukur (detik.com).
Ketiga, kesiapan sistem pemantauan dan pengawasan di Zona Penangkapan Ikan 3. Ini tentu sangat krusial untuk menjamin implementasi penangkapan ikan berjalan sesuai dengan ketentuan.
Kehadiran 03 Regional Monitoring Centre (RMC) di Pangkalan PSDKP Tual yang dapat memantau pergerakan dan mengidentifikasi potensi pelanggaran kapal perikanan di laut secara real time, tentu harus dilihat sebagai upaya untuk memastikan tidak ada ruang bagi segala bentuk praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Begitu pula penempatan 9 (sembilan) armada Kapal Pengawas Perikanan yang siap menjaga dan mengamankan wilayah perairan pada Zona Penangkapan Ikan 3.
Kebijakan operasional pengawasan yang memperkuat implementasi pengawasan pada saat keberangkatan (before fishing), pada saat melaut (while fishing), pada saat mendaratkan hasil tangkapan (during landing), sampai dengan pendistribusian hasil tangkapan (post landing). Dalam pendataan hasil tangkapan yang menjadi dasar PNBP, sinergi akan dilakukan antara Petugas Pendataan (Enumerator), Pengawas Perikanan, dan Syahbandar di Pelabuhan Perikanan. Hal ini tentu merupakan upaya mempersempit ruang manipulasi maupun ketidakakuratan data hasil tangkapan.
Menunggu Implementasi Kuota Penangkapan
Hal yang tentu saja akan menyempurnakan modelling ini adalah implementasi kuota penangkapan ikan. Kuota penangkapan ikan merupakan instrumen kunci yang akan menjamin penangkapan ikan dilaksanakan secara berkelanjutan baik dari sisi ekologi, sosial dan ekonomi.
Bagi pelaku usaha, kuota akan menjadi acuan pengelolaan bisnis perikanan baik penangkapan ikan maupun industri hilirnya. Sedangkan bagi Pemerintah selaku regulator, kuota akan menjadi rambu dalam pengendalian fishing effort termasuk dalam penerbitan perizinan.
Selain itu, kuota juga menjadi rujukan dalam pengaturan penetapan PNBP. Secara sederhana, jika boleh diilustrasikan, maka kuota adalah urat nadi dari modelling penangkapan ikan terukur itu sendiri.
Penerapan kuota lah yang akan menjadi kunci keberlanjutan penangkapan ikan, termasuk pada modelling di zona penangkapan ikan 3 ini.
Apalagi, jika kita melihat tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di zona penangkapan ikan 3 khususnya pada tiga kelompok komoditas utama yaitu ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar (selain tuna, tongkol dan cakalang) dan ikan demersal juga berada pada level pemanfaatan yang memerlukan tindakan pengendalian ekstra. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI (KKP) Nomor 19 Tahun 2022 menyebutkan tingkat pemanfaatan ketiga kelompok komoditas tersebut mencapai 0,7 (fully exploited) baik di WPP 714 maupun WPP 715.
Adapun di WPP 718, tingkat pemanfaatan pelagis kecil mencapai 0,51 (fully exploited), pelagis besar 0,99 (fully exploited) dan ikan demersal 0,67 (fully exploited). Tentu data tersebut perlu dilihat dan dibandingkan lagi dengan kondisi di tahun 2024, namun prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan sudah selayaknya dikedepankan, dan salah satu bentuk kehati-hatian tersebut, sembari menunggu implementasi kuota adalah pengelolaan perizinan secara selektif agar tidak menghasilkan penangkapan ikan berlebih dan kerusakan ekosistem laut.
Ini tentu menjadi tugas bersama Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Perjalanan Modelling ini tentu masih panjang dan harus terus dievaluasi. Namun, optimisme pada inisiatif ini tentu sangat layak diberikan.
Kita perlu memberikan apresiasi atas upaya untuk mencari jalan membumikan gagasan kebijakan transformasi tata kelola perikanan tangkap, juga semangat untuk mengejawantahkan visi pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang Indonesia-Sentris.
Didik Agus Suwarsono, Senior Analis pada Pusat Kajian dan Pemberdayaan Kelautan dan Perikanan (PUSARAN)
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances